Masih Miskin
Katanya Tuhan Maha Kaya, Lantas Kenapa Masih Ada Orang Miskin?
Siti Adidah 26/09/2023
Allah Swt. menciptakan segala sesuatu di dunia ini berpasangan-pasangan, seperti baik buruk, sedih bahagia, susah senang, murung ceria, dan lain-lain. Kemudian, kita tahu bahwa Allah tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Bagaimana dalilnya? Surah Ali-Imran ayat 191, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka." (Q.S Ali-Imran: 191).
Begitu pun dengan adanya keadaan lapang atau sempit, si kaya dan si miskin. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah Maha Pemberi Rezeki dan juga yang memiliki hak prerogatif untuk memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surah Al-Ankabut ayat 62, “Allah melapangkan rezeki bagi orang yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang membatasi baginya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S Al-Ankabut: 62).
Baca juga: Mengenal Makna Zakat Lebih Dekat!
Jadi, kaya dan miskin adalah ketetapan Allah, bagian dari skenario Allah. Allah Swt. menciptakan orang kaya dan miskin agar manusia saling berhubungan. Agar kehidupan ini tetap berjalan. Bayangkan, bagaimana jadinya ketika di dunia ini semuanya kaya? Siapa yang jualan sayur? Siapa yang jadi petani? Semua sudah diatur. Justru, ketika semua manusia kaya, kita akan repot, kehidupan tidak akan berjalan.
Selain itu, kaya dan miskin hanyalah ujian. Maka akan datang suatu masa di mana manusia diuji dengan kekayaan dan diuji dengan kemiskinannya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surah Al-Fajr ayat 15-16, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku. Dan adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku.” (Q.S Al-Fajr: 15-16).
Allah ingin melihat bagaimana reaksi seseorang ketika diuji dengan kekayaan ataupun kemiskinan, apakah akan tetap beriman atau berpaling. Tidak ada garansi orang akan tetap kaya atau akan selamanya miskin. Semua alur hidup Allahlah yang memegang kendali, maka bersiaplah dengan dua ujian ini ketika kita berada di salah satu posisi tersebut.
Baca juga: Bekerja Mencari Rezeki, Tapi Menjauhi Maha Pemberi Rezeki?
Itulah mengapa Allah memerintahkan kita untuk berzakat! Mengeluarkan sebagian harta yang kita miliki untuk orang-orang yang berhak menerimanya, karena di dalam harta kita terdapat hak orang lain. Segala sesuatu dalam hidup ini sudah diatur dan terukur. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah Asy-Syura ayat 27, “Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Teliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (Q.S Asy-Syura: 27).
Allah Maha Mengetahui siapa orang yang ketika diberi rezeki lebih dari yang dibutuhkan, ia akan melampau batas. Maka dari itu, Allah memberi rezeki sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat mana yang lebih manfaat untuk mereka. Semoga kita bisa lebih sadar bahwa Allah jauh lebih mengetahui dari apapun. Manusia biasa seperti kitalah yang banyak tidak tahunya.
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Fakir Miskin Tanggung Jawab Siapa? yang ditulis oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 11 Desember 2018.
Istilah “masyarakat miskin” sebagaimana Anda maksud dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (“UU Fakir Miskin”) dengan sebutan “fakir miskin”.
Dalam pasal ini, yang dimaksud dengan fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
Fakir Miskin dan Anak-Anak yang Terlantar Dipelihara oleh Negara
Secara hukum, fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Pengejawantahan dari Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ini dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk penanganan fakir miskin, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UU Fakir Miskin.
Penanganan Fakir Miskin
Sebagai suatu upaya terhadap fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, dilakukan penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.[1] Kebutuhan dasar yang dimaksud yaitu kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.[2]
Dalam memenuhi amanat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, pelaksanaan penanganan fakir miskin oleh pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Sosial.[3]
Adapun di tingkat daerah, pelaksanaan penanganan fakir miskin dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi di tingkat provinsi serta pemerintah daerah kabupaten/kota di tingkat kota, sesuai dengan wewenang masing-masing sebagaimana dituangkan dalam Pasal 28-32 UU Fakir Miskin.
Pendataan Fakir Miskin
Sebagai dasar untuk melaksanakan penanganan fakir miskin dalam upaya mewujudkan amanat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, Menteri Sosial menetapkan kriteria fakir miskin berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.[4]
Selanjutnya, Badan Pusat Statistik (“BPS”) akan melakukan pendataan berdasarkan kriteria tersebut.[5] Terhadap hasil pendataan tersebut, Menteri Sosial melakukan verifikasi dan validasi yang dilakukan secara berkala, minimal 2 tahun sekali.[6]
Selain itu, seorang fakir miskin yang belum terdata dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis di tempat tinggalnya.[7] Artinya ada keaktifan secara 2 arah dari pemerintah dan dari pribadi fakir miskin.
Atas pendaftaran tersebut, lurah, kepala desa, atau nama lain yang sejenis menyampaikan pendaftaran tersebut kepada bupati/walikota melalui camat, untuk kemudian disampaikan kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri Sosial.[8]
Selanjutnya, data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi tersebut ditetapkan oleh Menteri Sosial sebagai dasar bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dan/atau pemberdayaan.[9]
Bentuk Penanganan Fakir Miskin
Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:[10]
Menurut hemat kami, fenomena masih banyaknya fakir miskin yang tidur di pinggir jalan berhubungan dengan pendataan fakir miskin. Sebab, data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi serta ditetapkan oleh Menteri Sosial merupakan dasar bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dan/atau pemberdayaan kepada fakir miskin, salah satunya yakni penyediaan pelayanan perumahan.
Terkait pendataan ini, UU Fakir Miskin bahkan telah memberikan sanksi bagi orang yang memalsukan data verifikasi dan validasi atas data fakir miskin dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp50 juta.[11]
Oleh karenanya, pendataan fakir miskin serta optimalisasi pemberian bantuan dan/atau pemberdayaan kepada fakir miskin harus terus dimaksimalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, agar hak fakir miskin terpenuhi, salah satunya atas penyediaan pelayanan perumahan. Apabila hak ini tidak terpenuhi, berarti amanat dari Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 dan UU Fakir Miskin belum dijalankan sebagaimana semestinya.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
[1] Pasal 1 angka 2 UU Fakir Miskin
[2] Pasal 1 angka 3 UU Fakir Miskin
[3] Pasal 19 ayat (1) UU Fakir Miskin
[4] Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Fakir Miskin
[5] Pasal 8 ayat (3) UU Fakir Miskin
[6] Pasal 8 ayat (4) dan (5) UU Fakir Miskin
[7] Pasal 9 ayat (1) UU Fakir Miskin
[8] Pasal 9 ayat (3) dan (4) UU Fakir Miskin
[9] Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Fakir Miskin
[10] Pasal 7 ayat (1) UU Fakir Miskin dan penjelasannya
[11] Pasal 42 UU Fakir Miskin
eramuslim.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai gagal mensejahterakan rakyat selama 9 tahun memimpin Indonesia. Pasalnya, hingga saat ini tercatat 40 persen rakyat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan.
Demikian disampaikan Ekonom Senior Dr Rizal Ramli dalam sebuah jumpa pers virtual bertajuk “Rakyat Mendukung Petisi 100: Makzulkan Presiden Jokowi Segera!” pada Jumat (18/8).
“Tugas negara untuk mensejahterakan rakyat tidak dijalankan oleh Jokowi selama 9 tahun. Faktanya apa 40 persen rakyat kita masuk kategori miskin,” tegas Rizal Ramli.
Menurut Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, pengurangan kemiskinan selama 9 tahun Jokowi paling lambat dalam sejarah pemerintahan di Indonesia.
“Kebutuhan dasar makin mahal, pendidikan makin mahal, sehingga saya pernah katakan Pak Jokowi ini tampangnya aja merakyat selfie sama petani puluhan kali, tapi kebijakannya bikin petani di Indonesia semakin miskin dengan memotong menghapuskan subsidi pupuk dan terus-menerus mengimpor produk pangan,” sesal pria yang akrab disapa RR ini.
Menurut RR, kegagalan Jokowi selama 9 tahun mensejahterakan rakyat Indonesia ditengarai akibat orientasi pembangunan yang dilakukan hanya sekadar project oriented.
“Karena dia (Jokowi) sibuk proyek, dan pegawai-pegawainya stafnya pejabatnya dapat uang dari proyek, sehingga pendekatan pembangunan yang meroyek. Dan seperti diketahui lebih dari 30 persen dikorup dalam sistem yang project oriented tersebut,” ketusnya.
“Jokowi mukanya aja yang merakyat tampangnya merakyat hatinya itu oligarki,” demikian RR.
Turut hadir saat jumpa pers aktivis Petisi 100 Marwan Batubara, mantan Ketua MPR RI Amien Rais, dosen UNJ sekaligus pentolan aktivis FKSMJ 1998 Ubedillah Badrun, aktivis ketenagakerjaan Mirah Sumirat, Habib Muchsin Al-Attas, dan aktivis FKN Abdullah Hehamahua. (Sumber: RMOL)
Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
2. mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi
kehidupan dirinya dan/ atau keluarganya.
Ayat yang gramatis, Dia berasal daripada keluarga yang miskin. - penggunaan dari untuk menunjukkan tempat, arah dan tarikh, manakala daripa menunjukkan punca, sumber, perbezaan dan perbandingan. Lihat buku Tatabahasa Dewan, halaman 268.
Perkataan bagaimanpun dan walau bagaimanpun boleh hadir pada permulaan ayat. Walau bagaimanapun dalam ayat contoh yang diberi kata hubung 'tetapi' lebih gramatis untuk ayat tersebut.
Kebelakangan atau belakangan merupakan sejak masa-masa yg kemudian ini/ akhir-akhir ini/ kebelakangan/belakangan juga ditakrifkan sebagai kesudahannya, akhirnya atau kemudian. Contoh ayat: Pergolakan di Indonesia kebelakangan ini berjalan sangat cepat sehingga amat susah utk mengikutinya. Contoh ayat kedua: Mula-mula ia menolak, tetapi belakangan ini menerima juga tawaranku. Untuk makluman saudara, penggunaan kebelakangan dan belakangan ini sebenarnya sering bertukar ganti penggunaannya.
Namun bermaksud biarpun, meskipun, sungguhpun walaupun,tetapi. Oleh itu, ayat tersebut betul kerana perkataan namun dalam ayat itu bermaksud tetapi.